SUGUHAN POLITIK TIAP HARI
Oleh: Iman Arif
Media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan lain-lain kalau kita perhatikan setiap hari memuat berita tentang situasi politik di negara tercinta ini, demikian pula internet dan televisi dengan gencar serta semangat selalu menghidangkan hingar bingarnya perpolitikan tersebut.
Mungkin para pengelola media di negeri ini ingin menyesuaikan selera pasar saat ini yang katanya orang sedang gandrung hidangan lezat yang disebut politik tersebut. Berbagai lapisan masyarakat pasti minatnya berbeda, selain banyak yang senang berita politik, tetapi ada pula yang gemar membaca atau nonton tayangan televisi tentang kesehatan, humor, wisata, ceramah agama, olah-raga , diskusi ilmiah, musik, kuliner, infotainment, hukum, film dan lain-lain.
Sedangkan film yang disebut terakhir itu sendiri banyak jenisnya, misalnya: action (laga) drama percintaan, humor, fiksi, perjuangan/perang, dan film religi/ yang penuh dengan syiar agama dan banyak lagi. Penggemar sinetron atau film tentang hantu pun mungkin banyak, biasanya beberapa stasiun televisi menayangkan malam jumat dan sabtu, tetapi ada pula yang ditayangkan siang hari…….. (Para pendidik dan pemuka agama sepakat film/sinetron seperti itu membodohi publik, tidak mendidik dan tidak sinkron dengan pembinaan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta).
Memang benar kalau dikatakan penayangan acara di media massa itu telah beragam/ sangat bervariasi, namun kalau diperhatikan secara detail, maka berita politik itu selalu mempunyai kualitas tayang menggreget, jam tayang bisa panjang atau bisa pendek durasinya, dan bisa diulang kapan saja, misalnya (pagi, siang atau malam hari).
Dia mampu menyita waktu dan mengalihkan perhatian publik apalagi manakala berita itu menyangkut keputusan atau kebijakan politik tingkat nasional atau berkaitan khusus pribadi-pribadi elit politik yang tersandung kasus hukum. Jadi bedanya berita politik dengan tayangan lain adalah dalam hal bobot dan kualitas berabagai keputusan politik yang menyangkut hidup orang banyak, dan keterlibatan para elite politik dalam kasus hukum.
Effek atau dampak dari tayangan berita-berita khususnya televisi mampu menggerakkan pemirsa cerdas spiritual, berfikir rasional atau tidak rasional, atau bisa bertindak emosional atau tidak emosional. Mengapa? Karena beritanya lengkap selain terdapat unsur tulisan/text/gambar juga audio visual, apalagi tayangannya bagus, dan disiarkan pengelola televisi berulang-ulang baik itu dalam berita utama ataupun dalam format acara yang berbeda dengan materi pokok sama .
Sisi negatifnya, penayangan berita anarkis dapat menyulut seseorang atau massa meniru melakukan perbuatan-perbuatan yang sama seperti yang mereka tonton di layar kaca tersebut. Tidak heran kalau besok lusanya di tempat lain terjadi anarkis yang serupa, malah lebih dahsyat tindakan anarkisnya.
Karena itu pengelola media massa mestinya jangan menyajikan berita kekerasan seperti itu secara vulgar karena bisa ditiru oleh massa di daerah lainnya, misalnya peristiwa bentrokan massa pendemo dengan aparat yang berdarah-darah, penyiksaan mahasiswa yunior terhadap seniornya di salah satu kampus perguruan tinggi, ditiru di berbagai kampus lainnya, yang lebih memprihatinkan kasus serupa terjadi pula di tingkat sekolah menengah pertama (SMP ).
Solusinya: Penayangan berita yang tendensius demikian hendaknya bisa diarahkan agar waktu dan lama tayang proposional tidak berlebihan dan bobot negatifnya perlu diimbangi dengan kegiatan-kegiatan positifnya dalam satu paket tayangan. Sekarang ini materi siaran televisi telah sampai dengat tingkat cukup mengkhawatirkan bagi para orang tua, pendidik, pemuka agama dan mereka yang peduli terhadap nasib generasi muda penerus bangsa.
Kita sangat sulit mencegah putra/i kita menonton tayangan yang negatif tersebut, karena keberadaan televisi telah demikian luas di tengah masyarakat, mereka dapat bebas nonton di kamarnya, lokasi Tv umum, bengkel mobil/motor, tempat kost, terminal setasiun kereta api/bis, dan bandara, hotel, restoran, apotek, rumah sakit, kios pedagang kaki lima dan banyak tempat lainnya. Selain tayangan sinetron dan film yang tidak mendidik, seperti takhayul, kekerasan dan hal-hal sadistis, ironisnya siaran berita utama dan reportase khusus format acara lainnya terlalu sering menayangkan bentrokan/kerusuhan para pemimpin masyarakat, politisi, tentara dengan polisi, pendemo dengan polisi, pedagang kaki lima dengan Satpol PP , saling benturan fisik warga dengan tim eksekusi dari lembaga peradilan, dan lain sebagainya.
Kondisi pertelevisian yang demikian itu juga tentu membuat gusar si Pulan, Si Dadap dan si Waru, mengatakan film-film yang diputar di bioskop saja dilakukan sensor, tetapi kenapa materi dan sistem penayangan yang meresahkan itu dibiarkan terus berlangsung. Selanjutnya Si Dadap dan kawan-kawannya berharap sangat agar seluruh pengelola media massa baik cetak maupun elektronik dapat menahan diri agar tidak terlalu “bebas dan vulgar” dalam menyiarkan acara-acara tertentu.
Perhatikan waktu tayang yang tepat misalnya waktu telah tidur anak-anak dan hindari pada waktu belajar. Jadi sebaiknya jangan ingin memperoleh keuntungan besar dari iklan/sponsor saja, melainkan sekarang ini diperlukan proses editing tayangan dengan kepekaan fikiran serta hati nurani, sehingga dihasilkan suguhan acara banyak dampak manfaat positifnya tetapi dampak sisi negatifnya sangat kecil.
Kita yakin dengan partisipasi aktif seluruh pengelola media massa sebagaimana diuraikan di atas, maka berbagai perubahan perilaku negatif dari sebagian masyarakat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dapat diminimalisir dengan sebaik-baiknya. Entah mengapa lembaga sensor, pemerhati siaran dan pihak-pihak yang terkait pengawasan siaran kurang berfungsi dengan baik, karena sebenarnya tugas mereka adalah mengontrol agar berita-berita yang ditayangkan proposional dan tidak berlebihan. Kalau diibaratkan sebagai makanan, bukan saja lezat yang menjadi keharusan tetapi berita harus juga menyehatkan.Ya itulah yang paling penting
Rakyat miskin yang berjumlah puluhan juta orang itu masih memikirkan makan apa untuk hari ini dan bagaimana cari nafkah untuk bisa makan besok. Media massa dapat menjadi pelopor mengingatkan seluruh pemuka negeri ini termasuk elit politik agar dalam berjuang mesti “ kembali kepada rel yang lurus “ sesuai dengan komitmen atau yang kita kenal dengan “perjanjian luhur“ seluruh bangsa Indonesia
Marilah sejak saat ini kita saling mengingatkan agar bangsa di negeri ini hendaknya dapat menahan diri dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan falsafah bangsa sebagai berikut :
1) benturan dan bentrokan antar umat beragama dan aliran agama,
2) perkelahian massal/tawuran,
3) Tindakan anarkis merusak sarana dan prasarana umum (dibangun menggunakan dana rakyat tetapi dihancurkan oleh rakyat sendiri?),
4) berlomba usul pemekaran wilayah Propinsi/Kabupaten dan Kota tanpa didasarkan pedoman dan kriteria yang jelas dan terukur serta komprehensif dan berakibat masyarakat di daerah tersebut saling berantem berkepanjangan,
5) demonstrasi yang menutup jalan umum (jalan toll dan jalan raya/primer) dan banyak lagi jenis-jenis demo lainnya yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum,
6) barantem rakyat vs aparat diberbagai kasus demonstrasi (bahasa halus =unjuk rasa),
7) mogok makan (padahal ajaran agama melarang mogok makan),
8) mogok kerja yang menelantarkan masyarakat,
9) mengganggu dan mempengaruhi jalannya sidang dalam proses peradilan,
10) benturan dan bentrok fisik massa dalam kasus-kasus eksekusi tanah/bangunan yang telah mendapat keputusan hukum tetap,
11) perang (saling serang dengan senjata) antar kampung, desa, kecamatan
12) dan lain sebagainya tidak mampu disebutkan satu-satu karena terlalu banyak.
Pelaksanaan demokratisasi jangan dikhianati oleh perilaku-perilaku seperti diutarakan di atas karena itu tidak memberdayakan masyarakat (social empowerment) untuk memperbaiki kualitas hidupnya malahan yang terjadi sebaliknya pengrusakkan/anarkis terjadi dimana-dimana. Hal penting lainnya adalah bahwa segala perbuatan yang mengatas namakan demokratis seharusnya dapat dipertanggung jawabkan (akuntabel) di dunia serta dihadapan Tuhan.
Kesimpulan:
a. Manusia Indonesia wajib beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan beribadah sesuai dengan ajaran agama,
b. Saling menghargai satu sama lain serta berlaku adil (sesuai dengan hak-hak azasi manusia),
c. Memegang teguh rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia
d. Menjadikan budaya musyawarah yang baik sebagai alat untuk mencapai solusi terbaik. Artinya bermusyawarah dengan mengedepankan akal sehat, bukan emosional. Kemudian usahakan seminimal mungkin mengerahkan masa, tapi semaksimal mungkin gunakan sistem perwakilan.
e. Seluruh komponen bangsa terutama para elit yang memiliki wewenang agar menjadikan kepentingan rakyat sebagai fokus utama demi tercapainya kesejahteraan yang adil dan merata.
Sudah saatnya kita harus kembali bekerja membangun bangsa dengan satu arah cara pandang, kerangka pemikiran serta landasan negara yang telah disepakati bersama yaitu Pancasila dan UUD 1945. Artinya jangan coba-coba berksperimen lagi apalagi meniru-niru menyusun konstitusi serta dasar falsafah bangsa import dari Negara lain.
Manakala komitmen bangsa tersebut tidak dilaksanakan dengan baik dan benar, maka Akan terjadilah perubahan sosial yang dapat berakibat negatif karena merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang telah terbina puluhan bahkan ratusan tahun sejak kita menyatu sebagai bangsa Indonesia. Berbagai dampak negatif dimaksud sangat berbahaya karena proses pemulihan akan berdampak kerugian yang luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, siapa pun sulit memprediksi tingkat kerugian dari bencana sosial yang akan ditimbulkannya.
Banyak sekali kejadian-kejadian luar biasa yang telah merusak budaya bangsa, mari kita ambil salah satu contoh akibat salah mengartikan kata-kata reformasi dan demokrasi, maka dimana-mana orang melakukan ucapan dan tindakan dengan “sebebas-bebasnya“ tanpa memperdulikan norma-norma kehidupan yang ada di dalam masyarakat.
Tidak cukup dengan kebebasan yang bernaung dalam nuansa demokratisasi saja, sekelompok elite politik bersemangat merubah produk–produk peraturan perundangan di bidang politik, sosial, ekonomi, agama, hankam , serta tata laksana pembangunan dan pemerintahan yang berbau orde baru mesti dirubah tidak peduli apakah itu masih relevan atau baik.
Maka DPR bersama pemerintah berhasil menetapkan berbagai peraturan baru, dan itu memang benar semestinya demikian karena kalau ingin maju tentu diperlukan berbagai pembaharuan peraturan/hukum sebagai payung kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun tidak perlu ditarget dan dilakukan tergesa-gesa yang berakibat bongkar pasang peraturan perundangan .
Selain terlalu bersemangat dan tergesa-gesa, ditambah hampir selalu ada konflik kepentingan, maka beberapa aturan terpaksa dibongkar pasang, kita ambil contoh: UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (yang telah usang) sampai diganti dua kali, hanya dalam satu dua tahun saja, aneh memang padahal tim perumusnya terdiri dari pakar dan akhli di bidangnya.
Hal tersebut membuktikan kalau politik dijadikan raja, maka produknya sering berakibat tidak efektif dan efisien, malah sebaliknya terjadilah benturan-benturan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan daerah, lalu kemudian eksekutif dengan legislatif berlomba saling mengaku punya kewenangan yang lebih tinggi.
Akibatnya kondisi di daerah terjadi arogansi Pemerintah Kabupaten/Kota, mereka kurang menghargai Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Daerah, demikian halnya DPRD Propinsi dengan Kabupaten/Kota terjadi hubungan yang semu tidak harmonis karena anggaran pemerintah Pusat lebih besar diturunkan kepada Daerah langsung dan anggaran Propinsi tidak sebesar sewaktu masih berlaku UU No.5 tahun 1974.
Menyadari kesalahannya, maka DPR pada waktu itu segera mengganti UU yang kacau tadi dengan menetapkan UU Pemerintah Daerah yang pada intinya antara lain memfungsikan kembali Gubernur selain sebagai perangkat Daerah, dia juga sebagai wakil pemerintah pusat di Daerah.
Perkembangan demokrasi yang keblablasan terutama di tingkat pusat secara cepat akan berkembang pula ke tingkat bawah atau Daerah dan warga masyarakat di tingkat paling bawah /grass root (akar rumput), kemudian kita saksikan bila sudah terjadi pertentangan dan gejala perpecahan maka dipastikan penyelesaiannya melalui dialog jarang berhasil, karena mereka saling mengedepankan ego, serta massa yang bebas berpendapat dalam menyampaikan kehendaknya, pendapat dirinyalah yang paling benar. Tidak ada lagi saling toleransi dan menghargai pendapat orang lain, sehingga terjadi bentrokan fisik dengan aparat keamanan dan baku hantam diantara mereka sendiri yang sulit dikendalikan.
Sifat massa lebih banyak emosional ketimbang berfikir logis dan bertindak rasional, makanya sering terjadi demonstrasi damai namun berakhir anarkis merusak apa saja yang berada didekatnya, dan menganiaya siapa pun yang menghalangi mereka, sehingga akhirnya terpaksa berhadapan dengan aparat keamanan yang sering pula terjadi jumlahnya tidak memadai dengan massa yang terlanjur bertindak brutal.
Waktu terus berjalan dari hari ke hari, bulan dan ke tahun, bentrok lagi bentrok lagi, rusuh lagi dan rusuh lagi itulah yang sekarang dipertontonkan televisi, sampai tiada hari tanpa berita politik.
Namun sayang aktivitas politik yang elegan/menggunakan hati nurani serta etika berpolitik jarang diberitakan media massa atau dengan perkataan lain tidak ada keseimbangan berita baik dengan buruknya.
Maka peranan pers dewasa ini sangat penting dan strategis, dalam usaha turut menciptakan suasana yang kondusif melalui pemberitaan-pemberitaan yang seimbang antara politik penuh kebringasan dengan politik yang mendidik etika politik yang berkepribadian Indonesia.
Keberpihakan elit politik kepada rakyat wajib dibuktikan dengan program nyata untuk mensejahterakan bangsa, bukan retorika dan janji-janji dalam kampanye saja. Bangsa dan negeri ini tidak bisa dibangun dengan dusta, sehingga perlu diingatkan kepada mereka setiap waktu salah satu bait lagu…. “Tiada dusta diantara kita”. Begitu pula terhadap seluruh penyelenggara Negara termasuk penegak hukum perlu diingatkan hal yang sama agar kebiasaan tidak jujur ditinggalkan sebab kebersamaan hanya akan terbangun dengan kejujuran.
Kesimpulannya para elit politik harus mempunyai program yang terperinci bagaimana Negara ini akan dibangun, jadi bukan catatan mimpi dan janji belaka. Mestinya mereka penuhi komitmen bangsa dalam rangka mencapai cita-cita dan tujuan negara serta sebagaimana visi dan misi yang telah mereka buat misalnya sewaktu sebelum menjadi elit politik wakil rakyat di DPR/DPRD, MPR; pimpinan lembaga Tinggi Negara dan atau Kepala Daerah. Jangan melupakan tujuan untuk apa setelah berhasil menjadi pemimpin, berjuanglah membangun bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, serta Program Pembangunan Nasional , terlebih lagi kalau hanya sekedar rumusan visi dan misi tersebut biasanya singkat dan sifatnya sangat umum jadi belum menyentuh sisi rincian program sampai kepada bentuk kegiatannya.
Allahu Akbar, Luar Biasa-Luar Biasa-Luar Biasa, setelah baca tulisan ayahku ini serasa dapat mata kuliah kenegaraan. Perfect! ini sangat penting bagi saya selaku politisi muda yang bercita-cita memperbaiki kondisi bangsa ini yang jangan sampai nantinya saya terjebak dalam retorika politik yang ada. Hatur nuhun Pisan Jazaakumullahu khairan katsiira - agus andi setyawan -
BalasHapus