Minggu, 24 Mei 2009
KOMUNIKASI KELUARGA DAN NEGARA
Obrolan dengan si Pulan berakhir karena waktu telah larut malam, ia menutup pembicaraan dengan mengajukan teka teki (seperti quiz saja) : Hal-hal apa saja yang menyebabkan kondisi individu dan kelompok masyarakat di negeri ini banyak yang menjadi cepat marah, mengamuk, bicara juga kasar ( mungkin norma kesopanan dianggap kurang penting) dan ego yang tinggi, serta bentrokan fisik antar warga dan perlawanan terhadap aparat kerap kali terjadi dimana-mana?
Pertanyaan yang jujur apa adanya dari seorang awam seperti si Pulan menyebabkan saya agak kaget karena tidak menyangka pertanyaan itu demikian mendalam, dan saya teringat suatu tulisan di harian Pikiran Rakyat (Sabtu, 23 Mei 2009) penulisnya yaitu Mona Sylviana, anggota keluarga dan aktif di Institut Nalar Jatinangor tentang “Keluarga, Komunikasi, dan Demokrasi” yang antara lain memuat pendapat Bertrand Russel yang berkata: Individu yang baik pasti warga Negara yang baik.
Dalam tulisan tersebut beliau mengemukakan antara lain tentang idealisasi keluarga Indonesia versi Orba, diterima sebagai satu-satunya model keluarga yang juga berarti tuntutan bagaimana jadi warga Negara yang baik
Selanjutnya Mona berpendapat “idealisasi keluarga yang demikian menyebabkan komunikasi yang terjadi cenderung manipulatif, instruksional, dan distortif. Komunikasi tidak ditempatkan sebagai ruang untuk saling menghadirkan diri, yang menjadikan para anggota keluarga lebih bisa saling memahami lebih dekat, dan ikatannya kian kuat.
Komunikasi demikian jauh dari jenis yang mengandaikan adanya pribadi-pribadi masing-masing hidupnya khas, kompleks dan bermartabat.
……….perlu dilahirkan kembali potensi-potensi individu yang idealnya berkembang dalam proses komunikasi, setara, dan terbuka jangan dikerdilkan seperti zaman orba. Potensi yang berbanding lurus dengan kesadaran akan kedalaman dan keluasan itu, yang karenanya akan menyediakan ruang bagi perkembangan potensi-potensi dari individu lain Tentu, termasuk potensialitas sebagai warga Negara”.
Pendapat di atas menurut saya tidak sepenuhnya benar, karena tidak tepat kalau idealitas keluarga Indonesia dibandingkan dengan artian keluarga, komunikasi dan demokrasi zaman Orba.
Mengapa? Karena kehidupan berkeluarga bangsa Indonesia tidak sama dengan Negara manapun, saya berani mengatakan idealitas bangsa ini adalah “keluarga yang khas Indonesia” jadi tidak perlu disandingkan atau diperbandingkan dengan konsep keluarga bangsa lain atau malah kurang tepat dianalogikan keluarga dengan komunikasi, demokrasi penyelenggaraan sistem pemerintahan Negara.
Mona Sylviana juga mengatakan: ……. .. “pola komunikasi begitu mengekalkan hubungan keluarga-negara, yang hanya menjadikan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang feodal, patriarki, dan konsumtif. Dan darinya, seperti dikemukakan S.Sasaki Shiraishi (2006), tidak mengherankan kalau lahir pribadi-pribadi yang lebih menekankan “harmoni” (yang sebenarnya perwujudan “asal bapak senang”), “komunalitas” bermuatan gotong royong (satu eufimisme permakluman untuk nepotisme), dan “tidak sensitif”. Padahal, Negara sekarang ini tidak mungkin menjadi the idea of good yang dapat menyimpul seluruh kompleksitas masyarakat. Negara “hanya” mungkin berperan sebagai fasilitator bagi daulat rakyat (Habermas melalui F.Budihardiman)………”
Menurut pendapat saya di zaman Orla, Orba, dan Reformasi sekarang atau dengan nama zaman apapun dihari yang akan datang, bahwa keluarga ideal bangsa ini adalah pola komunikasi keluarga Indonesia “yang khas berkepribadian Indonesia”, kita rasakan kenyataan pola komunikasi tidak selalu seragam dalam berpendapat dan tidak ada pengekangan potensi anggota keluarga untuk maju. Komunikasi keluarga Indonesia malah selalu terbuka menyatakan pendapat yang berbeda baik soal kehidupan keluarga maupun dalam bermasyarakat/sosialitas dan bernegara, yang penting disampaikan secara bijak dan bahasa yang santun ( Sunda=malapah gedang)
Selain itu tidak tepat kalau dikatakan pola komunikasi dalam idealisasi keluarga Indonesia di zaman Orba menyebabkan lahirnya keluarga “feodal”, dan “patriarki” karena dalam keluarga Indonesia, setiap anggota keluarga wajib menghormati orang tuanya, demikian pula sesama anggota keluarga harus saling menghargai satu sama lain.
Pada prinsipnya semua anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, namun kemudian adanya hak dan kewajiban yang berbeda antara anggota keluarga laki-laki dan perempuan, maka itu adalah acceptly (kekecualian ) sebab dalam hal-hal tertentu misalnya hak warisan jelas tidak akan sama, hal itu sesuai dengan ajaran norma agama , adat, etika, kesopanan, dan norma lainnya yang berlaku dalam keluarga masing-masing.
Demikian pula persoalan konsumtif, saya kira banyak tergantung bagaimana didikan dalam keluarga itu sendiri, dan pola hidup konsumtif itu tentu saja selain faktor internal tadi maka yang sangat berpengaruh adalah faktor eksternal/ lingkungan pergaulan hidupnya termasuk dari gencarnya iklan-iklan di media massa cetak apalagi televisi. Jadi bukan karena idealisme keluarga pada zaman orde baru, sebab di zaman apa pun setiap orang mesti berusaha menjadi orang baik termasuk menjadi warga negara yang baik.
Jadi pola komunikasi dalam keluarga Indonesia dari dulu sampai sekarang idealnya jangan berubah; tetap saja dan harus/mestinya melahirkan ikatan yang lebih kuat serta bersatu bukan diartikan tidak boleh berlainan pendapat, dan malahan diberikan kesempatan yang sama dan luas untuk maju dan berkembang menjadi individu-individu yang mencintai dan mengabdi pada bangsa dan negaranya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar