Rabu, 18 Desember 2013
MENAHAN HARTA WARISAN TANPA ALASAN
Wednesday, July 24, 2013
Tanya:
Suandi (Penajam)
Kepada: salafybpp@gmail.com Tampilkan detail
Bismillah... Ustadz -hafizakalah-, mohon nasehat dan bimbingan, untuk ahli waris yang menahan pembagian harta warisan tanpa alasan yang jelas, sehingga hingga diantara ahli waris ada yang meninggal sebelum menerima haknya (warisan).
Pertanyaan selanjutnya: Seorang ayah yang dalam keadaan sehat mengatakan kepada ke-7 anaknya “ada dua bidang tanah -terpisah oleh parit- sebelah utara saya berikan kepada 5 (lima) anak wanitaku adapun yang di sebelah selatan saya berikan kepada 2 (dua) anak laki-lakiku, serta sebuah rumah saya berikan kepada salah satu dari anak laki-lakiku” apakah pemberian seperti ini sah? Perlu diketahui setelah ucapan (pemberian) tersebut, tanah dan rumah -yang disebutkan- masih dikelola oleh sang ayah dan hasilnya masih diambil alih oleh sang ayah sampai ia wafat (seakan-akan ucapan sang ayah terasebut adalah wasiat yang baru berlaku setelah ia wafat). Jazakallahu Kahairaa -atas nasehat dan bimbingannya- wa barokallahufik.... Wassalamu’alaikum...
Jawab:
Ma'asyaral ikhwah rahimakumullah
Apabila seorang telah meninggal dan dia memiliki harta, maka harta tersebut setelah diselesaikan segala keperluan jenazah, kemudian hutang-piutang, wasiat, masih ada tersisa dari harta tersebut, maka itu milik ahli waris. Apabila mereka hendak segera membagi, maka segera dibagi. Namun kalau mereka seluruhnya sepakat untuk menunda, ya terserah mereka, itu harta mereka. Kalau mereka seluruhnya sepakat untuk tidak membaginya terlebih dahulu, maka terserah mereka, itu tergantung kesepakatan mereka.
Tapi kapan salah satu diantara mereka tidak setuju, minta segera dibagi, ya hendaknya segera dibagi. Tapi kalau seluruhnya sepakat, ya silahkan karena itu hak mereka. Bagaimana kalau kemudian sampai ada yang meninggal, itu diserahkan kepada ahli waris yang meninggal. Misalnya dia punya anak, maka diserahkan kepada anaknya. Sekian anaknya dibagi-bagikan sesuai dengan berapa harta warisan yang dia dapatkan, maka itulah yang dibagikan kepada ahli waris yang berikutnya.
Ma'asyaral muslimin rahimakumullah
Bedakan antara hibah dengan wasiat dan warisan. Adapun hibah, pemberian dari orang tua kepada anak. Apabila orang tau hendak memberikan sesuatu kepada anaknya, maka dia harus berbuat adil, diantara anak-anaknya.
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhuma dia berkata:
تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ
“Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku yang bernama ‘Amrah bintu Rawahah berkata, “Saya tidak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya.” Maka ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta beliau menjadi saksi atas pemberian tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada semua anak-anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” Kemudian ayahku pulang dan meminta kembali pemberiannya kepadaku.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Harus berbuat adil, kalau dia menghibahkan kepada anaknya, harus sama rata, sama rasa. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara anak laki-laki dengan anak wanita. Meskipun ada sebagian pendapat para ulama mengatakan bahwa dalam hal hibah, seperti warisan. Wanita mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.
Namun yang dzahir dari perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam عْدِلُوا bersikap adilah dengan anak-anak kalian dalam hal pemberian, menunjukkan dzahirnya harus disamakan semuanya. Kalau ini dapat sebidang tanah disini, dia juga, yang satunya juga harus diberi sebidang tanah yang senilai. Bukan yang satu sebidang tanah 10x15, dimana? Di Klandasan pinggir jalan. Yang satunya sebidang tanah, dimana? Di Samboja. Sama-sama sebidang tanah tapi nilainya berbeda, tidak adil. Jadi disamakan pula dalam hal nilainya. Ini namanya hibah, boleh dengan cara berbuat adil.
Wasiat, yang kaitannya dengan akan meninggalnya. Setelah meninggal, baru harta tersebut berpindah. Dan dalam hal ini tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli waris. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi masing-masing orang haknya, karenanya tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud no. 3565, At-Tirmizi no. 2120, Ibnu Majah no. 2704, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1655)
Sehingga tidak bisa dijalankan. Sebagian para ulama mengatakan boleh asal disetujui oleh seluruh ahli warisnya. Karena ada riwayat yang menyebutkan:
عن ابي امامة الباهلى رضى الله عنه قال : سَمِعْتُ رَسُوْل الله صلى الله عليه وسلم يقول : إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه احمد والاربعة الا النسائ وحسنه احمد والترمذي وقواه ابن خزيمة وابن الجارود ورواه الدارقطني من حديث ابن عباس وزاد في اخره الا ان يشاء الورثة واسناده حسن)
“Dari Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah selain An Nasa’iy (Jadi hanya Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)Dan dinilai hasan oleh Ahmad dan At Tirmidzi, penilaian ini diperkuat oleh Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Jarud. Juga diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan beliau menambahkan pada akhir matannya kalimat: kecuali para ahli waris menghendakinya (menyetujuinya). Dan sanadnya bagus.”
Kemudian warisan, warisan yaitu setelah mati, dibagikan kepada ahli waris. Dibagikan kepada ahli waris. Yang nampak dari pertanyaan ini, yang dzahir ini bukan hibah, karena kaitannya setelah meninggalnya. Sehingga dia mirip dengan wasiat. Sehingga wasiat tersebut tidak boleh dijalankan. Dan harus dikembalikan kepada hukum waris, pembagian warisan.
Pembagian warisan, masing-masing mendapatkan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu Wata'ala tetapkan. Kecuali apabila pemilik harta yang telah mendapatkan warisan sekian, merelakan. Sudah, untuk kamu ambil saja, bagianku sekian silahkan ambil tidak menjadi masalah. Itu tidak menjadi masalah, karena dia telah menggugurkan apa yang menjadi haknya. Jadi yang dzahir Wallahu Ta'ala A'lam ini tidak sah, tidak sah pernyataan sang ayah dan harus dikembalikan kepada hukum waris. Wallahu Ta'ala A'lamu bishawab.
SUAMI WAJIB MENAFKAHI ISTERI YG BEKERJA DAN PUNYA PENGHASILAN SENDIRI
Tuesday, September 3, 2013
Apakah suami tetap memberi nafkah kepada istri yang bekerja dan berpenghasilan sendiri
Tanya:
Apakah seorang suami harus tetap memberikan nafkah kepada istrinya? Yang mana kedua suami istri tersebut masing-masing memiliki pekerjaan dan masing-masing keduanya memiliki penghasilan. Mohon dijawab!
Bagaimana sikap istri terhadap suaminya yang mana suaminya tersebut tidak pernah memberikan kepada istrinya itu nafkah? Dengan alasan istrinya tersebut memiliki pekerjaan dan memiliki penghasilan.
Jawaban dan Nasehat:
Ustadz Abu Muawiyah Askari hafizhahulloh
Ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, dalam rumah tangga sebagaimana yang telah kita jelaskan. Suami, statusnya sebagai qowam, pemimpin dalam rumah tangga. Kalau dia berstatus sebagai pemimpin, maka dia yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Termasuk dalam hal memberi nafkah. Wajib bagi suami menafkahi istrinya begitu terjadi pernikahan, wajib bagi suami menafkahi istrinya. Apakah kebutuhan sehari-harinya, demikian pula perlengkapannya, pakaiannya, dan apa yang dibutuhkan. Masing-masing sesuai keadaan, masing-masing sesuai keadaan, dan itu wajib. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS At-Talâq 7)
Masing-masing sesuai dengan kadar yang Allah subhanahu wata'ala berikan. Yang kaya, memberikan sesuai dengan apa yang dia miliki. Yang miskin, memberikan, tetap memberi nafkah. Maka ini menunjukkan wajibnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya meskipun istrinya memiliki pekerjaan. Meskipun istrinya itu kaya raya. Dia dapat peninggalan warisan dari orang tuanya, menyebabkan dia kaya, misalnya. Meskipun, meskipun, dan tidak diperbolehkan bagi seorang suami mengambil harta istri, kecuali apabila istrinya merelakan, meridhakan. Yang wajib, suami harus menafkahi istrinya. Bukan suami dinafkahi istrinya.
Sekarang ini banyak yang terbalik, rumah tangga itu. Bukan rumah tangga lagi, tangga rumah, terbalik, kapalnya terbalik. Istrinya, manager, gajinya luar biasa banyaknya dalam sebulan. Suami, nongkrong di rumah, jaga anak, jadi pembantu, terbalik. Yang seperti ini banyak, banyak sekali. Allahul musta'an, ini merendahkan kedudukan lelaki. Menghilangkan status dia sebagai qowam. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. (QS Al-Baqarah 233)
Oleh karena itu sepakat para ulama, Ibnul Mundzir, menyebutkan kesepakatan ulama, ijma' bahwa suami wajib menafkahi istrinya. Meskipun istrinya itu kaya raya. Meskipun istrinya punya pekerjaan, thayyib. Dan ma'asyaral ikhwah rahimakumullah, juga yang harus diperhatikan dari sisi pekerjaan istri. Asal hukum seorang wanita adalah tinggal di rumah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (QS AlAhzâb 33)
Rumah itu adalah tempat yang terbaik bagi seorang wanita. Ketika dia keluar, boleh. Selama dalam hajjatun syar'iyyah. Ada kebutuhan syar'i. Selama tidak ada unsur yang menyelisihi syara. Apabila ada pekerjaan seorang wanita yang menyelisihi syari'at, wajib bagi seorang suami untuk menasehati istrinya. Dan berusaha untuk menahannya. Karena itu sudah menjadi kewajiban suami untuk menafkahi istrinya tersebut. Nasehati dengan cara yang baik. Tapi kalau misalnya, pekerjaan tersebut suatu yang dibolehkan secara syar'i, istrinya mengajar misalnya, dan dia punya penghasilan. Itu milik istrinya, tidak diperbolehkan bagi suami untuk mengambilnya kecuali dengan keridhaannya, kecuali dengan keridhaannya.
Dan tidak sepantasnya bagi seorang suami, mengandalkan penghasilan dari istri, mengandalkan penghasilan istrinya. Lalu bersandar kepadanya. Dia bersenang-senang dengan hal ini. Ini menghilangkan statusnya sebagai laki-laki, sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Allahul musta'an.
Selasa, 10 Desember 2013
Senin, 02 Desember 2013
Langganan:
Postingan (Atom)